Jumat, 18 April 2014
Case #3 - Joe si klien yang kecewa
Joan adalah seorang klien berumur sekitar 50 tahun. Dia punya banyak uang dan dua orang anak dari suami yang berbeda. Di sudah bercerai dan sering bepergian.
Joan merasa tidak bahagia. Dia merasa kurang percaya diri, untuk mengikuti latihan padahal sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk belajar. Dia selalu salah paham terhadap orang lain dan tidak didukung oleh temannya. Dia merasa kalau dia selalu membantu orang lain, tapi orang lain tidak begitu tertarik padanya. Dia merasa marah dan tidak tahu harus berbuat apa.
Melakukan terapi padanya tidaklah mudah. Dia ingin solusi, tapi menolak segala sugesti yang diberikan. Hal yang paling dia butuhkan adalah empati dan rasa pengertian. Selain itu, dia juga membutuhkan simpati.
Setelah beberapa waktu, saya merasa tidak nyaman untuk menjelaskan pengaruh hal-hal buruk terhadap dirinya selama ini. Dia tidak mau mengakui perannya, dan setiap saya memberikannya saran untuk melakukan sesuatu, dia cenderung membela diri, dan marah karena merasa tidak didukung.
Dia terus membahas bagaimana hal-hal buruk terjadi dan bagaimana dia menerima dampak dari hal-hal tersebut. Sekali lagi, saya merasa kurang nyaman karena hanya bisa duduk dan mendengarkan ceritanya, dengan kata lain saya justru mendukungnya untuk tetap berada dalam pandangan hidup yang salah dan tidak produktif.
Saat saya mencoba memotong pembicaraan, dia menjadi kesal dan ofensif.
Terapi yang tidak mudah.
Saya memberikan sebuah pemahaman bahwa segala hal yang terjadi di luar sana juga juga tercermin dalam hubungan seseorang dengan orang lain. Itulah kenapa dia tidak sadar kalau dia sudah mendapat dukungan dan perhatian dalam beberapa hal saat bersama dengan saya. Dan bahwa sebagian reaksi yang saya tunjukkan padanya akan sama dengan reaksi orang lain secara umum terhadapnya.
Saat dia sudah tertarik dan lebih terbuka, di waktu lain dia kembali menceritakan hal serupa.
Suatu saat saya memberikan beberapa hal yang ingin saya terapkan padanya, daripada menghabiskan banyak waktu mendengar ceritanya. Dia sangat ofensif lalu sangat marah. Dia ingin mengakhiri terapinya.
Jadi dalam suatu hubungan, ini adalah contoh dari apa yang kita sebut masalah dalam suatu hubungan. Di sinilah terapi bertugas untuk menyelesaikan masalah, dengan mengakui keberadaan seseorang dan membangun kembali suatu hubungan.
Inilah hal yang saya lakukan – mengakui kalau dia saya pernah memotong pembicaraannya sebagai suatu pengalaman, dan bagaimana hal ini membuatnya kecewa dan marah. Saya mengatakan kalau saya sudah tidak sabar untuk melanjutkan terapi ini, dan bagaimana saya terus mendengarkan ceritanya. Saya juga mengatakan kalau usaha saya untuk memberikan solusi melalui terapi tidak bekerja padanya.
Dia merasa tenang karena hal ini, dan mungkin ini pertama kali baginya ada seseorang yang mengakui kesalahnnya dalam suatu hubungan. Pada saat itu, solusi datang dari sebuah pengalaman, dan hasilnya dia merasa lebih baik.
Namun, masih banyak pekerjaan yang menunggu
Joan merasa tidak bahagia. Dia merasa kurang percaya diri, untuk mengikuti latihan padahal sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk belajar. Dia selalu salah paham terhadap orang lain dan tidak didukung oleh temannya. Dia merasa kalau dia selalu membantu orang lain, tapi orang lain tidak begitu tertarik padanya. Dia merasa marah dan tidak tahu harus berbuat apa.
Melakukan terapi padanya tidaklah mudah. Dia ingin solusi, tapi menolak segala sugesti yang diberikan. Hal yang paling dia butuhkan adalah empati dan rasa pengertian. Selain itu, dia juga membutuhkan simpati.
Setelah beberapa waktu, saya merasa tidak nyaman untuk menjelaskan pengaruh hal-hal buruk terhadap dirinya selama ini. Dia tidak mau mengakui perannya, dan setiap saya memberikannya saran untuk melakukan sesuatu, dia cenderung membela diri, dan marah karena merasa tidak didukung.
Dia terus membahas bagaimana hal-hal buruk terjadi dan bagaimana dia menerima dampak dari hal-hal tersebut. Sekali lagi, saya merasa kurang nyaman karena hanya bisa duduk dan mendengarkan ceritanya, dengan kata lain saya justru mendukungnya untuk tetap berada dalam pandangan hidup yang salah dan tidak produktif.
Saat saya mencoba memotong pembicaraan, dia menjadi kesal dan ofensif.
Terapi yang tidak mudah.
Saya memberikan sebuah pemahaman bahwa segala hal yang terjadi di luar sana juga juga tercermin dalam hubungan seseorang dengan orang lain. Itulah kenapa dia tidak sadar kalau dia sudah mendapat dukungan dan perhatian dalam beberapa hal saat bersama dengan saya. Dan bahwa sebagian reaksi yang saya tunjukkan padanya akan sama dengan reaksi orang lain secara umum terhadapnya.
Saat dia sudah tertarik dan lebih terbuka, di waktu lain dia kembali menceritakan hal serupa.
Suatu saat saya memberikan beberapa hal yang ingin saya terapkan padanya, daripada menghabiskan banyak waktu mendengar ceritanya. Dia sangat ofensif lalu sangat marah. Dia ingin mengakhiri terapinya.
Jadi dalam suatu hubungan, ini adalah contoh dari apa yang kita sebut masalah dalam suatu hubungan. Di sinilah terapi bertugas untuk menyelesaikan masalah, dengan mengakui keberadaan seseorang dan membangun kembali suatu hubungan.
Inilah hal yang saya lakukan – mengakui kalau dia saya pernah memotong pembicaraannya sebagai suatu pengalaman, dan bagaimana hal ini membuatnya kecewa dan marah. Saya mengatakan kalau saya sudah tidak sabar untuk melanjutkan terapi ini, dan bagaimana saya terus mendengarkan ceritanya. Saya juga mengatakan kalau usaha saya untuk memberikan solusi melalui terapi tidak bekerja padanya.
Dia merasa tenang karena hal ini, dan mungkin ini pertama kali baginya ada seseorang yang mengakui kesalahnnya dalam suatu hubungan. Pada saat itu, solusi datang dari sebuah pengalaman, dan hasilnya dia merasa lebih baik.
Namun, masih banyak pekerjaan yang menunggu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar