Senin, 17 November 2014
Case #35 - Marah pada mantan suami
Marion punya masalah dengan orang tuanya yang berencana mempertemukan kembali dia dengan mantan suaminya. Ini jelas bukalah sebuah masalah yang substansif. Dia lebih mempermasalahkan rasa tidak nyaman dan masalah yang belum selesai antara dia dan mantan suaminya itu.
Sebelum masuk lebih dalam saya mengatakan - apa yang saya rasakan ketika saya melihat anda adalah bahwa mata anda menatap saya dengan tajam. Hal itu tentunya memberikan dampak yang cukup kuat pada saya. Kesamaan saya dengan mantan suami anda alah bahwa saya juga seorang pria, dan saya membayangkan bahwa sejumlah energi yang anda arahkan padanya mungkin akan ikut saya rasakan saat ini.
Saya bertanya seperti apa masalahnya, dan dia bilang, kemarahan.
Saya bertanya apa yang membuatnya marah. Dia mulai menceritakan sebuah cerita yang panjang pada saya berkaitan dengan keadaan...setelah beberapa saat saya bertanya lagi: baiklah, jadi apa yang sebenarnya membuat anda marah. Sekali lagi dia menceritakan sebuah cerita, dan kali ini lebih panjang.
Saya harus bertanya berkali-kali padanya sampai dia bisa mengatakan dengan jelas apa yang sebenarnya membuatnya marah yaitu bahwa dia merasa dikhianati oleh mantan suaminya, karena tidak memberikan dukungan finansial lagi pada bisnis yang sedang dia jalankan. Dia juga sangat marah karena mantan suaminya itu berbohong padanya dan juga pada orang tuanya yang tinggal bersama dengan mereka.
Saya bilang, ya, anda memang terlihat marah, itu terlihat dari mata anda. Apa yang anda rasakan saat ini?
Dia mulai membahas tentang evaluasi, penilaian dan pendapat daripada membahas perasaannya.
Dia bilang, 'saya memendam perasaan saya'
Jadi saya mengajaknya untuk membayangkan kalau saya adalah mantan suaminya itu, dan 'coba membagi perasaan yang ia pendam itu dengan saya'. Dia mulai menjelaskan bahwa dia juga merasa patut disalahkan dalam situasi ini.
Jadi saya fokus padanya, dan memintanya untuk mengatakan sesuatu secara langsung dimulai dengan 'saya marah....'
Akhirnya, dia mulai mengekspresikan dirinya, secara langsung, dan mengatakan hal yang membuatnya marah.
Saya menyadari perasaannya, menyadari bagaimana saya bisa mengetahui dan mendengar amarah dalam dirinya... dan lalu bagaimana saya bisa melihat hal ini berubah menjadi tangisan - dan juga melihat seperti apa rasa sakit yang dialaminya.
Saya mendorongnya untuk berekspresi secara langsung, dan dia terus terjebak dalam amarah dan air mata. Ketika dia merasa ada yang mendengarkannya, dia mulai merasa lebih percaya diri untuk mengekspresikan dirinya secara langsung.
Pada akhirnya, dia merasa bebannya berkurang, dan berhasil melepaskan sebagian besar rasa sakit dan amarah yang selama ini dia pendam sejak bercerai.
Untuk membuat proses ini berhasil, saya harus bekerja keras, fokus pada kesadaran dirinya, dan membawanya kembali pada pengalaman yang pernah ia rasakan di mana saya ikut berpartisipasi dalam eksperimen bersama dengannya, berhenti bercerita tentang sesuatu yang tidak begitu penting, di mana cerita tersebut merupakan cara yang dilakukannya untuk menghindar dari masalah yang sedang coba kami tangani. Saya memberikan wadah baginya untuk mencurahkan amarahnya, dan mendukung serta meyakinkan dirinya untuk mengekspresikan dirinya... ia memerlukan beberapa waktu sebelum merasa kalau tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam hal ini. Saya juga tidak ikut terbawa dengan usahanya untuk menghindar;
Sebagai timbal balik, saya memberikan penghargaan padanya, yaitu hal yang selama ini dia rindukan - dilihat dan didengar. Saya memang bukan mantan suaminya, tapi terdapat energi yang cukup kuat di antara kami berdua yang membuatnya merasa puas mengekspresikan perasaannya pada saya sebagai pengganti.
Yang membuat saya terhubung sejak awal adalah kenyataan bahwa saya yang juga merupakan seorang pria sudah cukup mampu membangkitkan kekuatan perasaan yang dimilikinya, dan bahwa sikap saya untuk menerimanya sudah cukup untuk membuatnya merasa kalau proses ini bukanlah semacam 'tindakan pura-pura'.
Yang paling penting di sini adalah dia tidak berteriak, menjerit, memukul bantal, atau bahkan bersuara nyaring selama proses terapi. Amarah bergerak di dalam hubungan dan melalui proses pengendalian, sehingga tidak memerlukan teknik terapi yang dramatis untuk mengatasinya.
Sebelum masuk lebih dalam saya mengatakan - apa yang saya rasakan ketika saya melihat anda adalah bahwa mata anda menatap saya dengan tajam. Hal itu tentunya memberikan dampak yang cukup kuat pada saya. Kesamaan saya dengan mantan suami anda alah bahwa saya juga seorang pria, dan saya membayangkan bahwa sejumlah energi yang anda arahkan padanya mungkin akan ikut saya rasakan saat ini.
Saya bertanya seperti apa masalahnya, dan dia bilang, kemarahan.
Saya bertanya apa yang membuatnya marah. Dia mulai menceritakan sebuah cerita yang panjang pada saya berkaitan dengan keadaan...setelah beberapa saat saya bertanya lagi: baiklah, jadi apa yang sebenarnya membuat anda marah. Sekali lagi dia menceritakan sebuah cerita, dan kali ini lebih panjang.
Saya harus bertanya berkali-kali padanya sampai dia bisa mengatakan dengan jelas apa yang sebenarnya membuatnya marah yaitu bahwa dia merasa dikhianati oleh mantan suaminya, karena tidak memberikan dukungan finansial lagi pada bisnis yang sedang dia jalankan. Dia juga sangat marah karena mantan suaminya itu berbohong padanya dan juga pada orang tuanya yang tinggal bersama dengan mereka.
Saya bilang, ya, anda memang terlihat marah, itu terlihat dari mata anda. Apa yang anda rasakan saat ini?
Dia mulai membahas tentang evaluasi, penilaian dan pendapat daripada membahas perasaannya.
Dia bilang, 'saya memendam perasaan saya'
Jadi saya mengajaknya untuk membayangkan kalau saya adalah mantan suaminya itu, dan 'coba membagi perasaan yang ia pendam itu dengan saya'. Dia mulai menjelaskan bahwa dia juga merasa patut disalahkan dalam situasi ini.
Jadi saya fokus padanya, dan memintanya untuk mengatakan sesuatu secara langsung dimulai dengan 'saya marah....'
Akhirnya, dia mulai mengekspresikan dirinya, secara langsung, dan mengatakan hal yang membuatnya marah.
Saya menyadari perasaannya, menyadari bagaimana saya bisa mengetahui dan mendengar amarah dalam dirinya... dan lalu bagaimana saya bisa melihat hal ini berubah menjadi tangisan - dan juga melihat seperti apa rasa sakit yang dialaminya.
Saya mendorongnya untuk berekspresi secara langsung, dan dia terus terjebak dalam amarah dan air mata. Ketika dia merasa ada yang mendengarkannya, dia mulai merasa lebih percaya diri untuk mengekspresikan dirinya secara langsung.
Pada akhirnya, dia merasa bebannya berkurang, dan berhasil melepaskan sebagian besar rasa sakit dan amarah yang selama ini dia pendam sejak bercerai.
Untuk membuat proses ini berhasil, saya harus bekerja keras, fokus pada kesadaran dirinya, dan membawanya kembali pada pengalaman yang pernah ia rasakan di mana saya ikut berpartisipasi dalam eksperimen bersama dengannya, berhenti bercerita tentang sesuatu yang tidak begitu penting, di mana cerita tersebut merupakan cara yang dilakukannya untuk menghindar dari masalah yang sedang coba kami tangani. Saya memberikan wadah baginya untuk mencurahkan amarahnya, dan mendukung serta meyakinkan dirinya untuk mengekspresikan dirinya... ia memerlukan beberapa waktu sebelum merasa kalau tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam hal ini. Saya juga tidak ikut terbawa dengan usahanya untuk menghindar;
Sebagai timbal balik, saya memberikan penghargaan padanya, yaitu hal yang selama ini dia rindukan - dilihat dan didengar. Saya memang bukan mantan suaminya, tapi terdapat energi yang cukup kuat di antara kami berdua yang membuatnya merasa puas mengekspresikan perasaannya pada saya sebagai pengganti.
Yang membuat saya terhubung sejak awal adalah kenyataan bahwa saya yang juga merupakan seorang pria sudah cukup mampu membangkitkan kekuatan perasaan yang dimilikinya, dan bahwa sikap saya untuk menerimanya sudah cukup untuk membuatnya merasa kalau proses ini bukanlah semacam 'tindakan pura-pura'.
Yang paling penting di sini adalah dia tidak berteriak, menjerit, memukul bantal, atau bahkan bersuara nyaring selama proses terapi. Amarah bergerak di dalam hubungan dan melalui proses pengendalian, sehingga tidak memerlukan teknik terapi yang dramatis untuk mengatasinya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar